Sorotmedia.com – Air sungai yang tercemar di kawasan padat penduduk berpotensi menjadi sumber penyebaran berbagai penyakit kulit.
Kondisi ini menjadi perhatian serius di sejumlah wilayah perkotaan yang masih mengandalkan sungai untuk kebutuhan harian.
Tingginya aktivitas masyarakat yang membuang limbah rumah tangga langsung ke sungai turut memperparah keadaan.
Lingkungan padat penduduk dengan sanitasi yang minim menciptakan siklus buruk pencemaran air dan ancaman kesehatan.
Sungai di tengah permukiman padat kini bukan lagi sekadar tempat pembuangan limbah, melainkan telah berubah menjadi titik awal rantai penyakit kulit yang menjalar secara masif.
Air yang tercemar oleh deterjen, limbah dapur, hingga tinja manusia menciptakan ekosistem air yang penuh bakteri, jamur, dan parasit penyebab infeksi kulit.
Warga yang bersentuhan langsung dengan air sungai tersebut, baik untuk mencuci, mandi, atau bermain, menjadi kelompok paling rentan mengalami dermatitis, gatal-gatal, kurap, hingga infeksi bernanah.
Fenomena ini kerap terjadi tanpa disadari, karena gejala awal penyakit kulit seringkali dianggap remeh dan dibiarkan hingga menjadi kronis.
Menurut pafisindenreng.org, di beberapa kawasan padat penduduk di India atau bahkan Indonesia seperti di kota besar Jakarta, Surabaya, hingga Medan, kasus penyakit kulit akibat air sungai tercemar mengalami tren peningkatan setiap tahunnya, terutama saat musim kemarau saat debit air menyusut dan konsentrasi limbah semakin tinggi.
Di balik data kesehatan masyarakat yang meningkat, tersimpan kenyataan bahwa kesadaran akan pentingnya sanitasi masih sangat rendah di lingkungan tersebut.
Air sungai yang tampak keruh, berbau, dan dipenuhi sampah tidak membuat warga enggan untuk tetap menggunakannya, karena keterbatasan akses terhadap air bersih.
Situasi ini diperburuk dengan minimnya fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) di kawasan permukiman padat, sehingga masyarakat tidak memiliki banyak pilihan selain memanfaatkan sungai sebagai solusi darurat.
Pakar kesehatan lingkungan menilai, kondisi tersebut memperlihatkan adanya kegagalan sistemik dalam pengelolaan air limbah dan pendidikan kesehatan masyarakat.
Upaya preventif seperti penyuluhan kebersihan kulit, pengadaan sarana sanitasi, hingga intervensi medis secara berkala di lingkungan rentan seharusnya menjadi prioritas.
Sayangnya, program seperti ini kerap terhambat oleh kendala pendanaan dan minimnya perhatian pemangku kebijakan terhadap kesehatan kulit masyarakat kelas bawah.
Beberapa penelitian seperti dilansir dari pafitenggara.org menunjukkan bahwa patogen penyebab penyakit kulit seperti Staphylococcus aureus, Candida albicans, dan jamur dermatofita sangat mudah berkembang dalam air sungai tercemar dengan kandungan organik tinggi.
Kontak kulit secara terus-menerus dengan air tersebut memicu iritasi, peradangan, dan luka terbuka yang dapat menjadi pintu masuk infeksi sekunder yang lebih parah.
Anak-anak dan lansia merupakan kelompok usia yang paling banyak terdampak, karena daya tahan kulit mereka cenderung lebih lemah dibandingkan usia produktif.
Mereka juga kerap menghabiskan waktu lebih lama di sungai tanpa perlindungan memadai, seperti sabun antiseptik atau air bersih untuk membilas setelahnya.
Hal ini turut menciptakan beban ekonomi tambahan bagi keluarga, karena biaya pengobatan kulit tidak ditanggung penuh oleh layanan kesehatan dasar.
Beberapa warga bahkan memilih pengobatan alternatif yang tidak terbukti secara klinis, sehingga memperparah kondisi kulit dan menyebabkan komplikasi jangka panjang.
Dalam jangka panjang, masalah ini dapat berdampak pada produktivitas masyarakat, kualitas hidup, serta memperlebar kesenjangan kesehatan antara kelompok sosial.
Pemerintah daerah sebenarnya telah mencanangkan sejumlah program normalisasi sungai dan pembangunan MCK umum, namun implementasinya masih belum merata dan sering kali tidak menjangkau kantong-kantong kemiskinan di bantaran sungai.***