Daftar Isi
Kelemahan Artificial Intelligence dalam Digital Marketing – Apa saja kelemahan yang timbul dari Artificial Intelligence dalam digital marketing? Berdasarkan trial & error serta menelaah pendapat dari pakar SEO seperti Neil Patel, Saya dapat yakin jika sejauh ini, kita tidak bisa sepenuhnya bergantung pada AI.
Tidak dapat dipungkiri jika sejak beberapa tahun ke belakang, Artificial Intelligence atau AI menjadi primadona baru dan seolah jadi pegangan tunggal bagi para digital marketer.
Termasuk saya, betapa tidak? AI seperti ChatGPT begitu membius dan memudahkan banyak pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh banyak orang atau pun dalam jangka waktu lebih lama.
Setidaknya, AI bisa dimanfaatkan untuk meringkas tulisan, menulis deskripsi pemasaran, membuat gambar bahkan belakangan ini bisa juga dibuat untuk membuat video dan bernyanyi dengan lebih sempurna.
Tapi apakah iya? Kita bisa sepenuhnya yakin AI bisa diandalkan untuk peran marketing tanpa perlu “operator” di belakangnya?
Kelemahan Artificial Intelligence dalam Digital Marketing
Sejak tahun 2022, Saya mulai melek ke dunia AI, terlebih dalam membuat konten dalam kampanye pemasaran Saya. Meski pun kala itu, Google masih belum seterang sekarang dalam “mengizinkan” konten berbasis AI di search engine mereka.
Dan ya, banyak proyek digital marketing yang dapat dikatakan sukses setelah memanfaatkan Artificial Intelligence alias AI.
Copywriting, memberikan saran deskripsi produk, memberikan saran naskah untuk voice over, serta hal yang berbau teks bisa ditangani oleh AI di era tersebut dengan cukup bagus.
Tetapi, apakah semanis itu? Tentu tidak! Berikut, Saya rangkum beberapa hal yang jadi kelemahan AI dan jadi alasan, kenapa kita sebaiknya tidak sepenuhnya mengandalkan AI untuk urusan pemasaran:
1. Masih Sering Cacat Logika
Saya akui, jika disuruh berhitung, Saya akan kalah dengan telak jika dibandingkan dengan AI yang sudah terprogram sedemikian rupa.
Tetapi jika kita adalah orang yang hendak memasarkan produk dan perlu bantuan AI, maka sebaiknya kita lebih berhati-hati dan jangan sepenuhnya mengandalkan AI.
Misalnya saja, kita hendak membuat artikel promosi mengenai ban motor. Tentunya, kita perlu menjelaskan kelebihan dan kekurangan produk ban tersebut bukan?
Tapi sayangnya, karena AI biasanya masih bersifat general atau umum dalam menjabarkan, maka suka tidak suka, output dari AI masih sering cacat logika.
Sebagai contoh, bagaimana bisa AI menganggap jika ban motor adalah sesuatu yang mudah dipasang dengan tangan kosong?
2. Kurang Personal dan Kurang Konsisten
Selanjutnya, jika kita ingin melakukan kampanye dengan poster, dengan video, atau dengan artikel, maka jangan harap hasilnya bisa mewakili suatu “personal” atau “brand”.
Sebab apa? Sebab sekali lagi, hasil dari AI biasanya masih bersifat general dan cenderung kaku.
Jika pun dipaksa untuk menggunakan prompt sedemikian rupa agar bisa didesain sesuai dengan “rasa” seseorang atau suatu brand, maka di-output yang selanjutnya, hasilnya tidak dijamin sama.
Sebab apa? Sebab dari yang Saya rasakan setelah menggunakan AI selama beberapa tahun ke belakang adalah bahwa AI tidak konsisten, bahkan untuk tools AI yang berbayar.
Oleh karenanya, jangan heran jika Google lebih menyukai kampanye yang dibuat secara original, dan jika menggunakan AI, maka kampanye tersebut harus dibarengi dengan “operator” manusia.
3. Tidak Memiliki Perasaan
Masih berhubungan dengan poin kedua, di mana AI tentunya tidak memiliki perasaan layaknya seperti manusia. Padahal jika kita ingin melakukan kampanye dengan pendekatan personal yang mengedepankan “rasa”, jelas aspek perasaan ini tidak boleh dilupakan.
Sebagai contoh, jika kita ingin mendapatkan naskah untuk membuat video iklan pendek semisal mengenai “haru rindunya saat mudik lebaran” atau ketika nanti Agustusan dan ingin menyampaikan “berdarah-darahnya perjuangan pejuang di masa lalu”, maka dengan AI, ini masih kurang sreg rasanya, setidaknya, itu yang Saya alami selama menggunakan AI tanpa editing manual.
So far, meski AI bisa membantu, tetapi manusia sendirilah yang biasanya akan lebih sempurna jika harus disuruh menggambarkan bagaimana harunya bertemu orang tua di kampung halaman saat lebaran atau bagaimana rasanya mengenang kakek buyut saat memerdekakan negara ini.
4. Google Masih “Abu-abu”
Selanjutnya, jika kita ingin melakukan pemasaran secara digital melalui teknik SEO dan mengandalkan AI secara penuh, maka apa yang akan terjadi?
Yang Saya alami adalah website yang dikelola akan terkena update algoritma secara negatif dan bahkan bisa terkena hukuman spam berupa deindex.
Memang, Google sudah mengizinkan kita untuk menggunakan AI dalam membuat konten, tetapi itu pun harus dengan “pengawasan” ketat manusia.
Google hanya ingin konten terbaik yang diperuntukkan untuk manusia, dan siapa yang paling mengerti manusia selain dari pada manusia itu sendiri?
AI memang bisa dimaksimalkan agar bisa membuat konten agar bisa dilihat atau dibaca oleh manusia, tetapi karena sifatnya yang sering tidak konsisten, maka menggunakan AI secara penuh tanpa adanya “editor” tentunya bukan tindakan yang bijak dan malah seperti “menggali kuburan” untuk diri sendiri.
Dan dari pengalaman Saya juga, Saya merasakan ketika AI sudah “error” dan tidak bekerja sesuai perintah, maka waktu yang digunakan untuk melakukan editor bisa sama dengan waktu saat kita membuat konten.