Sorotmedia.com – Menjilat miss V atau cunnilingus menjadi salah satu bentuk aktivitas seksual yang umum dilakukan, namun banyak yang belum memahami risiko kesehatannya.
Dalam beberapa tahun terakhir, edukasi seputar kesehatan seksual mulai mendapatkan perhatian yang lebih luas di kalangan masyarakat.
Topik tentang keamanan berbagai praktik s3ksual, termasuk menjilat organ intim wanita, kerap menjadi perdebatan di dunia medis.
Meski sering diasosiasikan dengan bentuk keintiman yang menyenangkan, aktivitas ini ternyata menyimpan risiko kesehatan yang tidak bisa diabaikan.
Menjilat miss V pada dasarnya dapat meningkatkan kedekatan emosional antara pasangan.
Namun, di balik manfaat emosional tersebut, praktik ini juga membawa potensi ancaman kesehatan serius jika dilakukan tanpa pengetahuan yang cukup.
Pakar kesehatan seksual menegaskan bahwa berbagai penyakit menular seksual (PMS) bisa dengan mudah ditularkan melalui kontak oral-genital.
Menurut pafikotajakartaselatan.org, infeksi yang umum terjadi akibat aktivitas ini meliputi herpes, human papillomavirus (HPV), gonore, klamidia, dan sifilis.
Dalam beberapa kasus, infeksi HPV yang ditularkan melalui oral seks bahkan dapat berkembang menjadi kanker orofaring, yaitu kanker pada bagian tengah tenggorokan.
Selain itu, menurut laporan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), penularan penyakit ini tidak selalu memerlukan adanya luka terbuka pada area mulut atau organ intim.
Virus dan bakteri dapat berpindah hanya melalui kontak kulit ke kulit atau dari cairan tubuh yang sangat kecil.
Risiko semakin meningkat apabila salah satu pihak memiliki luka kecil, sariawan, atau masalah kesehatan pada mulut seperti radang gusi.
Hal ini menciptakan pintu masuk ideal bagi mikroorganisme patogen masuk ke dalam tubuh.
Tak hanya itu, American Sexual Health Association (ASHA) juga mengingatkan bahwa beberapa infeksi seperti gonore dan klamidia dapat menyerang tenggorokan dan menyebabkan faringitis, kondisi peradangan pada tenggorokan yang dapat menyulitkan menelan serta menimbulkan rasa sakit berkepanjangan.
Sebagian besar orang tidak menyadari bahwa mereka telah terinfeksi karena gejalanya bisa sangat ringan atau bahkan tidak muncul sama sekali.
Kondisi inilah yang sering membuat penularan terus berlangsung tanpa terdeteksi.
Penggunaan pelindung seperti dental dam (penghalang lateks tipis) dapat mengurangi risiko penularan penyakit saat melakukan oral seks.
Namun, sayangnya penggunaan dental dam masih sangat jarang diterapkan dalam praktik sehari-hari, bahkan di kalangan pasangan yang sudah sadar risiko kesehatan seksual.
Di Indonesia sendiri, pembicaraan mengenai penggunaan alat ini masih tergolong tabu.
Sebagai langkah pencegahan, para ahli menyarankan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan seksual secara berkala, terutama jika memiliki lebih dari satu pasangan seksual.
Penting pula untuk menjaga kebersihan area mulut dan organ intim, serta menghindari melakukan aktivitas seksual ketika ada infeksi aktif atau luka di mulut maupun pada area genital.
Menariknya, penelitian dari Johns Hopkins University juga menemukan bahwa risiko penularan infeksi menurun drastis jika seseorang telah menerima vaksinasi HPV.
Vaksin ini bukan hanya bermanfaat untuk mencegah kanker serviks, tetapi juga efektif melindungi terhadap beberapa jenis HPV yang dapat menyebabkan kanker di area mulut dan tenggorokan.
Di sisi lain, tidak semua aktivitas oral-genital otomatis membawa risiko tinggi, tergantung pada kesehatan masing-masing pasangan dan apakah tindakan pencegahan dilakukan.
Pasangan yang menjalani hubungan monogami dan rutin melakukan tes kesehatan memiliki peluang jauh lebih kecil untuk mengalami infeksi terkait.
Kesadaran untuk mendiskusikan riwayat kesehatan seksual dengan pasangan menjadi langkah preventif penting dalam membangun kepercayaan dan keamanan bersama.
Sebagai tambahan informasi, World Health Organization (WHO) juga menekankan pentingnya pendekatan edukasi kesehatan seksual komprehensif yang mencakup semua bentuk aktivitas seksual.
WHO menyoroti bahwa kesadaran masyarakat tentang potensi risiko oral seks masih jauh dari memadai di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.
Hal ini membuka peluang besar bagi penyuluhan kesehatan untuk menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat agar informasi ini tidak lagi menjadi hal yang dianggap tabu.
Pada akhirnya, keputusan untuk melakukan aktivitas seksual seperti menjilat miss V harus dibarengi dengan pertimbangan matang mengenai keselamatan diri dan pasangan.
Peningkatan pengetahuan, penggunaan pelindung, serta komunikasi terbuka menjadi kunci utama untuk menjalani kehidupan seksual yang sehat dan bertanggung jawab.
Memahami bahwa kenikmatan seksual juga harus sejalan dengan perlindungan kesehatan akan membantu menciptakan hubungan yang lebih sehat, harmonis, dan penuh kesadaran.
Dengan demikian, edukasi tentang risiko dan pencegahan penyakit akibat oral seks perlu terus digaungkan agar masyarakat dapat membuat pilihan yang lebih aman dan cerdas dalam kehidupan seksual mereka.***