Daftar Hubungan Berisiko HIV di Indonesia, Waspadai Faktor Penularannya

oleh
oleh
Lonjakan Kasus HIVAIDS di Kota Yogyakarta Capai 1.675 Kasus hingga September 2024
Ilustrasi. Pixabay/ padrinan

Sorotmedia.com – Meningkatnya kasus HIV di Indonesia mendorong perlunya pemahaman lebih dalam tentang hubungan yang berpotensi menimbulkan infeksi.

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan ancaman kesehatan serius yang terus berkembang di berbagai wilayah, termasuk Indonesia.

Penyebaran HIV tidak hanya terkait dengan perilaku tertentu, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, budaya, dan ekonomi.

Memahami jenis-jenis hubungan yang meningkatkan risiko penularan HIV menjadi langkah penting dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit ini.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia serta referensi dari berbagai lembaga kesehatan internasional termasuk pafipcblitarkab.org, beberapa jenis hubungan dinilai memiliki risiko tinggi dalam penularan HIV.

Salah satu faktor utama yang menjadi perhatian adalah hubungan s3ksual tanpa pengaman, baik dalam hubungan heteroseksual maupun homoseksual.

Penggunaan kondom yang tidak konsisten atau bahkan absen sepenuhnya dalam hubungan seksual dapat meningkatkan kemungkinan penularan virus secara signifikan.

Selain itu, hubungan seksual dengan pasangan yang memiliki banyak pasangan lain (multiple partners) juga memperbesar potensi tertular HIV, mengingat peluang terpapar virus menjadi lebih tinggi.

Risiko lainnya berasal dari hubungan antara pengguna narkoba suntik, di mana penggunaan jarum suntik bersama-sama menjadi jalur penularan yang sangat efektif.

Kebiasaan berbagi alat suntik tanpa sterilisasi menempatkan para pengguna narkoba dalam kelompok risiko tinggi, bahkan lebih tinggi daripada perilaku seksual berisiko.

Di sisi lain, hubungan suami istri di mana salah satu pasangan memiliki riwayat perilaku berisiko sebelumnya, baik itu penggunaan narkoba suntik atau hubungan seksual berisiko, juga menjadi perhatian serius.

Banyak kasus HIV di Indonesia ditemukan pada ibu rumah tangga yang tertular dari suami mereka, menunjukkan bahwa risiko HIV tidak hanya terbatas pada kelompok marginal.

Kontak s3ksual berbayar juga menjadi salah satu penyumbang utama dalam daftar hubungan berisiko HIV, terutama jika transaksi s3ksual dilakukan tanpa menggunakan pelindung.

Menurut laporan UNAIDS, pekerja s3ks dan pelanggan mereka tetap menjadi salah satu populasi kunci dalam upaya pencegahan HIV.

Selain itu, hubungan dalam komunitas tertentu yang masih terpinggirkan, seperti komunitas transgender, juga menunjukkan prevalensi HIV yang lebih tinggi dibandingkan populasi umum.

Akses yang terbatas terhadap layanan kesehatan, diskriminasi, dan kurangnya edukasi menjadi faktor-faktor yang memperparah risiko di komunitas ini.

Hubungan antar pria (men who have s3x with men/MSM) pun tercatat sebagai salah satu kelompok dengan tingkat infeksi HIV yang tinggi di Indonesia.

Meskipun kesadaran penggunaan kondom di kalangan ini meningkat, tantangan tetap ada dalam mengurangi stigma yang menghambat akses terhadap program pencegahan dan pengobatan.

Penularan HIV dari ibu ke anak juga menjadi perhatian, terutama jika ibu hamil tidak menjalani pemeriksaan HIV secara rutin dan tidak mendapatkan terapi antiretroviral yang memadai.

Padahal, dengan pengobatan yang tepat selama kehamilan, persalinan, dan menyusui, risiko penularan HIV ke bayi dapat ditekan hingga di bawah 5 persen.

Risiko lain yang sering terlupakan adalah hubungan dalam praktik transfusi darah tidak aman, walaupun saat ini prosedur skrining darah sudah jauh lebih ketat.

Namun di beberapa wilayah terpencil atau daerah dengan fasilitas kesehatan terbatas, prosedur ini masih berpotensi menjadi celah penularan HIV.

Dalam beberapa kasus, hubungan medis seperti prosedur transplantasi organ atau penggunaan alat medis yang tidak disterilkan secara tepat juga bisa menjadi faktor risiko tambahan.

Penting untuk menekankan bahwa HIV tidak menular melalui kontak biasa seperti berjabat tangan, berpelukan, atau menggunakan alat makan bersama.

Kesalahpahaman ini masih banyak ditemukan di masyarakat, sehingga edukasi berbasis fakta ilmiah menjadi sangat krusial.

Pencegahan HIV efektif dilakukan dengan pendekatan komprehensif, meliputi penggunaan kondom, tes HIV rutin, terapi antiretroviral bagi yang positif, serta edukasi publik.

Program pencegahan juga harus menyasar semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali, mengingat HIV bisa menyerang siapa saja tanpa memandang status sosial.

Upaya mengurangi stigma terhadap ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) juga merupakan langkah penting agar lebih banyak orang berani melakukan tes dan mengakses pengobatan.

Kementerian Kesehatan RI dalam beberapa tahun terakhir telah memperkuat kampanye “test and treat”, yang mendorong orang untuk mengetahui status HIV mereka sedini mungkin dan langsung memulai terapi.

Peningkatan akses ke layanan kesehatan berbasis komunitas, termasuk klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing), juga terus dilakukan guna memperluas jangkauan pencegahan HIV.

Melihat kompleksitas hubungan yang berpotensi menimbulkan HIV, diperlukan keterlibatan aktif seluruh pihak, mulai dari pemerintah, tenaga medis, LSM, hingga masyarakat umum.

Meningkatkan kesadaran tentang hubungan berisiko dan pentingnya tindakan pencegahan dapat membantu mengurangi angka infeksi baru HIV di Indonesia.

Melalui edukasi yang konsisten dan layanan kesehatan yang inklusif, diharapkan masa depan bebas dari stigma dan bebas dari HIV bisa tercapai.***

Visited 3 times, 1 visit(s) today

No More Posts Available.

No more pages to load.